Monday, July 30, 2007

MARI BELAJAR BAGAIMANA CARANYA MENJUAL AGAMA SEPERTI MENJUAL HAMBURGER


Bagi umat Muslim, akhir bulan lalu adalah awal bagi bulan suci mereka, bulan yang dianggap penuh berkah, bulan penuh pahala menyambut datangnya hari suci, Idul Fitri. Berhubung Idul Fitri jatuh pada bulan November, sementara Natal pada bulan Desember, berarti dua bulan terakhir tahun 2003 ini akan penuh dengan perayaan. Ada dua tempat yang paling sering dikunjungi dalam dua bulan ini: mesjid dan mall. Desain ketupat lebaran akan menjadi desain favorit menjelang Idul Fitri, sementara menjelang Natal, desain favorit adalah pohon pinus dan Sinterklas. Hampir semua tempat -tak usah disebut tempat-tempat ibadah karena hal itu sudah jelasmemiliki dekorasi ruang dengan dua item tersebut, apalagi mall, tempat yang paling selalu berada di garda depan dalam hal menyesuaikan diri dengan momen-momen yang menjadi tradisi setempat. Lagu-lagu pujian dari kedua agama tersebut akan mengambil alih seluruh waktu dalam jam buka mall, menemani para konsumer berbelanja sepatu, baju, parsel, dan hidangan-hidangan istimewa.

Ini mengingatkanku pada suatu momen yang selalu kualami setiap tahunnya setiap aku menginjakkan kakiku ke mallmall di sekitar hari-hari suci tersebut. Saat kulangkahkan kaki memasuki mall, di McDonald's yang terletak di barisan depan BIP, selalu saja grup musik Bimbo sedang diputar beberapa nomornya. Lagu-lagunya yang diputar selalu yang bernafaskan Islam, tetapi tidak nomor-nomor lama mereka sebelum grup tersebut menjadi religius. Lagu-lagu tersebut dilantunkan menemani mereka yang sedang duduk menikmati makanan, menembus sekat-sekat pemisah hingga sayup-sayup dapat terdengar juga oleh telinga mereka yang sedang bertahan seharian menahan lapar dan haus menunggu datangnya Maghrib. Sebagai yang bukan bagian dari umat Muslim, aku merasa sedikit aneh, saat irama Islami justru dikumandangkan bagi mereka yang justru tidak menjalankan ibadah umat Muslim. Tak ada lagi sesuatu yang sakral di tempat tersebut walaupun saat isu anti Amerika sedang hangat-hangatnya beberapa saat lalu, mendadak tempat tersebut seakan sebuah tempat yang paling Islami -seluruh pekerjanya berpakaian ala Muslim dan tepat di atas atap dipasang sebuah spanduk bertuliskan huruf-huruf kapital menyatakan bahwa restoran tersebut dimiliki oleh seorang haji. Tentu, selama bulan Ramadhan, seluruh pekerjanya juga wajib mengenakan pakaian Muslim. Lihat, betapa religiusnya restoran tersebut!

Indonesia memang aneh, dunia memang aneh, orang-orang dapat bertakwa kepada Tuhan dan pada saat yang sama juga mengabdi kepada pasar. Di mall, keduanya dapat dipertemukan dalam cara-cara yang menakjubkan. Walaupun sebenarnya aku juga tidak perlu merasa aneh dengan kehidupan di mall yang seperti demikian. Sepertinya dimana-mana di dunia ini, terjadi hal yang serupa. Seperti yang pernah juga masuk dalam memoriku, di departmen store Takashimaya yang terkenal di Tokyo, atau juga di Seibu, saat mendekati Natal terjadi juga hal yang serupa. Ada dekorasi Natal standar: pohon pinus dan berbagai kado di bawahnya, Rudolf si rusa berhidung merah dan tentu saja, Sinterklas. Tapi di Jepang justru ada sedikit perbedaan soal mendekati Natal. Saat tersebut adalah saat dimana para gadis membelikan hadiah bagi para lelaki pujaannya. Tak ada peringatan-peringatan sehubungan dengan hari suci kelahiran Yesus Kristus. Tak ada silaturahmi Natalan. Natal eksis sebagai sebuah musim untuk berbelanja (cokelat bagi sang lelaki terkasih). Dua bulan kemudian, akan hadir juga musim dimana para lelaki berbelanja hadiah bagi para gadis pujaannya: hari Valentine. Tapi pada intinya, dimana-mana Idul Fitri, Natal dan hari Valentine semuanya sama, sebuah musim belanja.

Di Indonesia, aku yakin, berbelanja saat mendekati hari raya justru jauh lebih serius daripada yang terjadi di Jepang. Aku juga yakin, kalau seandainya para Nabi dan Rasul dapat hadir kembali di dunia ini, mereka akan segera meninggal untuk kedua kalinya. Lagu-lagu Bimbo mentransformasikan nyanyian religius menjadi sebuah entertainment yang disuguhkan kepada mereka yang tidak berpuasa. Stand-stand yang menjual perangkat keagamaan berdiri berderet di samping stand-stand yang menjual makanan, peralatan rumah tangga, perangkat audio dan game. Manequin-manequin yang di hari-hari biasa digunakan untuk memampangkan bikini model tanga yang super seksi, ditutupi dengan pakaian yang menutup aurat, menutup bagian yang bagi umat Muslim dilarang untuk diekspos di hadapan publik.

Di luar mall, seluruh bintang-bintang televisi dan para selebriti seperti Krisdayanti akan tampil dengan sangat religius, juga tentu akan diperdengarkan di media opini-opini penuh takwa bintang-bintang seperti Dian Sastro. Inul Daratista tampil mengenakan pakaian yang biasa digunakan oleh kaum Muslimah. Tunggu saja, siapa bintang berikutnya yang akan tampil religius, setelah pada hari-hari sebelumnya tampil dengan sangat berseberangan dari akidah-akidah agama. Bahkan aktris seseksi Sophia Latjuba -pun tentu akan dapat tampil dengan kekhidmatannya di hadapan patung Bunda Maria.

Dalam pasar, iklan menegaskan hubungan antara produk dan keyakinan serta membuat koneksi tersebut terlihat alami: mie instant dengan saat berbuka puasa, rokok dengan suasana Natal di pegunungan, mobil produksi terbaru dengan silaturahmi saling memaafkan di Idul Fitri. Dalam pasar, tubuh dan pengumbaran nafsu dirayakan pada saat yang sama dengan keheningan jiwa dan kesucian.

Apa yang menghubungkan semua hal tersebut hingga keduanya dapat tampil secara bersamaan? Jawabannya adalah bahwa segala sesuatu tersedia untuk dikonsumsi. Konsumsi adalah penemuan modern, dan menjadi sebuah konsep yang mengerikan. Mungkin tak ada terjemahan yang tepat bagi kata tersebut untuk bahasa Indonesia. Pada faktanya, banyak orang di negeri miskin seperti Indonesia ini yang masih harus berjuang untuk mendapatkan kebutuhan hidup dasar sehari-hari, melihat kata ini sebagai sesuatu yang terlalu mewah. Mereka menterjemahkan 'consumption' atau 'konsumsi' sesederhana 'makan'. Kata 'seksi konsumsi' yang sering ditemukan dalam struktur pengorganisasian sebuah event atau sejenisnya, selalu berarti seksi tersebut mengorganisir kebutuhan perut orang alias penyedia makanan dan minuman.

Aku mencari melalui search engine di internet untuk referensi mengenai konsumsi. Setelah mengetik 'consumption', 'to consume', tampil sebuah abstrak atas pemikiran seorang filsuf, Jean Baudrillard. Opini Baudrillard memang tampak kompleks dan berpengalaman, tetapi versi sederhananya dari argumennya adalah bahwa apa yang dibeli oleh orang-orang saat ini adalah simbol. Dimana Karl Marx percaya bahwa setiap produk memuat sebuah nilai yang aslinya adalah nilai dari keringat kelas pekerja, Baudrillard berkata bahwa produk dinilai bukan karena nilai tersebut atau karena nilai gunanya. Saat ini, produk dihargai pada makna nilai simboliknya. Dan karenanya, produk yang dibeli tak lain hanya sekedar sebuah simbol.

Kedengarannya memang sinis. Tapi memang demikian adanya, sebagaimana bahwa di dunia di bawah sistem kapitalisme ini sulit ditemukan kebahagiaan yang nyata, maka orang-orang hanya dapat membeli simbol dari kebahagiaan tersebut. Dan begitulah yang terjadi pada hal-hal yang berbau religius, dimana nilai-nilai religiusnya telah terhapuskan, tak meninggalkan sesuatupun selain hanya satu hal: simbol. Mungkin kita tak perlu sesinis ini ya. Benar kalau dibilang bahwa kebahagiaan masih eksis. Tepat sekali. Tetapi kebahagiaan hanya eksis di luar sistem pasar dan jaringan jual belinya. Jelas hal ini benar bahwa sebuah benda atau sebuah citra yang ditempatkan di etalase untuk dikonsumsi, maka benda tersebut telah tertransformasikan tak lebih sebagai sebuah simbol, dan substansinya dapat diabaikan begitu saja.

Opini dari Baudrillard memang terdengar ekstrim, tetapi saat aku memasuki mall-mall dan mendapati bagaimana toko-toko menghadirkan nuansa Idul Fitri dan Natal sebagai bagian dari promosinya untuk berhasil meraup profit lebih banyak, maka aku seketika akan dapat menyetujui opini dari Baudrillard tersebut.

Aku mendadak teringat pada sebuah artikel tulisan seorang sosiolog bernama Chua Beng Huat. Ia menulis berdasarkan sebuah riset yang dilakukan di mall-mall di Singapura. Chua berargumen bahwa mall-mall tersebut kini bukanlah sekedar sebuah tempat untuk berbelanja. Fungsi utama dari mall adalah sebuah tempat untuk nongkrong, untuk menemukan pelepasan yang mengasyikan dari sengatan panas matahari tropik yang semakin panas akibat penggundulan pepohonan di pinggir jalan serta maraknya mode arsitektur rumah ala mediteranian yang meratakan seluruh lahan dari pepohonan rindang. Kini, apa sebenarnya yang dikonsumsi oleh orang-orang yang datang untuk melihat atau untuk dilihat ke dalam mall?

Argumen yang lucu mengingat bahwa Singapura tidak kekurangan ruang publik sama sekali. Lahan terbuka yang mengapit jalan-jalan utamanya cukup lebar untuk dapat digunakan untuk orang berjalan kaki. Lampu lalu lintas di simpang jalanan direspek dengan baik. Jalan-jalan ramai tidak dikuasai oleh para preman. Tetapi Orchard Road di Singapura dan Alun-Alun Bandung, memang berbeda. Hawa panasnya mungkin kini sudah mirip, tapi disini tak ada tempat nyaman untuk berjalan di trotoar yang dikuasai oleh para preman. Bahkan pada sisi-sisi tertentu trotoar tersedia sangat sempit dan tak terlindung sama sekali oleh pepohonan dari teriknya matahari. Persimpangan jalanan menjadi ajang pemberhentian angkutan kota yang terkadang tak peduli kemacetan yang diakibatkannya. Lampu hijau hanya direspek apabila polisi berkeliaran di sekitarnya. Disini, orang-orang dilatih untuk takut dan cemas berada di ruang publik, untuk takut terhadap publik.

Jika di negara kecil seperti Singapura yang masih menyediakan ruang-ruang publik yang terbuka tersedia disanasini, orang-orang masih berbahagia untuk sekedar berjalan di mall dan saling bertemu, bagaimana di Indonesia? Disini juga sama, pasar tidak berfungsi hanya sekedar tempat jual-beli. Selalu ada sesuatu yang dipertukarkan di pasar, bukan hanya barang dan jasa, melainkan juga manusia sendiri. Kita, atau mereka, datang ke dalam pasar dengan setengah sadar, bahwa kita semua memiliki nilai, bahwa kita memiliki harga, dan bahwa kita dapat diukur dari simbol-simbol yang kita kenakan. Uang, menjadi skala ukur yang membuat segala nilai aritmetika diantara berbagai hal yang berbeda menjadi sama. Di SD kita mengetahui dimana dua buah apel ditambah dua ekor ulat sama dengan dua ekor ulat dan dua ekor apel. Kini, kita dan anak-anak SD masa datang akan belajar bahwa dua buah apel sama dengan delapan ribu rupiah di pasar swalayan, atau mungkin lebih murah di toko lain. Dalam sistem ekonomi sekarang ini, nyaris tak ada bedanya antara apel, ulat, handphone, ataupun perjalanan naik haji ke Mekkah. Di kota-kota besar Indonesia dimana ruang-ruang publik semakin tergusur oleh ruangruang privat para korporat, mall juga menjadi sebuah pusat sosial. Toko-tokonya tidak lagi sekedar toko dimana orangorang datang untuk menjual atau membeli atau sekedar bekeliling menikmati suasana belanja.Mall telah menarik orang-orang sibuk maupun pengangguran, dengan menawarkan sebuah dunia lain selain dunia yang penat saat ini.

Kini kita perhatikan bagi perkembangan mall di Bandung. Tahun 1970 akhir dan era 1980-an, kompleks perbelanjaan di seputar Alun-Alun Bandung sangat penting di kota ini. Di jajaran pertokoan Dalem Kaum dan Asia Afrika, toko-toko berderet-deret dan mulai dibangun juga gedung pertokoan yang disewakan pada para pemilik toko. Bentuk plaza seperti ini merepresentasikan sesuatu yang lebih daripada sekedar pasar tradisional Indonesia dimana para penjual berkumpul di satu tempat yang tidak dimapankan oleh bangunan beton dan kaca. Akhir tahun 1980-an, Bandung Indah Plaza muncul di jalan Merdeka. Ia menjadi salah satu pengamal konsep 'one shop one stop', dimana segala kebutuhan dapat dipenuhi di satu tempat. Ada supermarket di satu sisi di lantai dua, restoran dan food-court kecil di sisi lainnya, area bermain di lantai teratas dan di beberapa tempat terutama di lantai dasar adalah area fashion. Jika Asia Afrika Plaza adalah kompleks pertokoan, maka Bandung Indah Plaza adalah pusat perbelanjaan. Akhirnya, popularitas Asia Afrika Plaza merosot dan akhirnya dilupakan. Popularitas Bandung Indah Plaza-pun kian hari kian merosot walaupun masih tetap bertahan hingga kini semenjak dibangunnya mall yang menyediakan produk-produk yang lebih bermerk dan bertaraf internasional, Bandung Super Mall. Untuk menjadi sukses sebuah mall harus dapat menyediakan segalanya dari kebutuhan religius hingga kebutuhan akan kafe dan bioskop. Mall adalah garda depan dari budaya massa. Ia eksis beriringan dengan radio dan televisi, media-media yang paling handal dalam mempertajam bentuk pola pikir dan selera massa dengan serangan virtual 24 jam sehari di nyaris tiap rumah. Dengan segala bentuk budaya massa tersebut, simbol menjadi sangat penting dan esensi dipersilakan untuk menempati keranjang sampah.

Perhatikan lagi antusiasme Ramadhan di bulan November ini. Ramadhan di pasar adalah sebuah musim religius. Sesuatu yang sekedar hanya sebentuk musim, seperti layaknya musim hujan, musim panas, musim durian. Di media-media, nyaris semua iklan berlomba-lomba menggunakan tajuk Ramadhan. Quiz-quiz digelar dengan pertanyaan dangkal dimana pemenangnya mendapatkan uang dari sponsor. Substansi dari produk yang dijual oleh pihak sponsor jelas tak memiliki koneksi dengan isi pertanyaan. Tentu saja. Tapi memang hal itu tidak penting. Yang penting adalah bagaimana pemirsa terisi dengan pencitraan-pencitraan yang, semoga, akan terekam di memori bawah sadar mereka yang terepresentasikan dalam “kesadaran” mereka.

Apakah ada esensi yang terkandung disini? Mungkin tidak. Tapi apakah memang benar bahwa esensi itu adalah sesuatu yang penting? Mungkin juga tidak. Disini keyakinan duduk bersanding bersama komoditi di etalase, menawarkan dirinya pada konsumen, berusaha merayu tanpa menggunakan paksaan. Di toko, Tuhan telah menemui ajalnya. Hei, apa bedanya asesoris religius dengan bikini nan seksi model G-String? Keduanya dapat dilihat, atau dibeli,atau diabaikan begitu saja. Tidakkah pasar adalah sebuah tempat dimana sistem demokratik terlaksana, dimana setiap orang memiliki akses yang sama, dan ditawari harga yang juga sama? Bukankah itu adalah sebuah kesetaraan?
Mungkin. Tapi setidaknya aku sadar, bahwa tempatku bukan disitu. Supermarket hanya cocok untuk satu hal: dicolong.

No comments: